Pencitraan, Propaganda, dan Budaya Politik Jawa
Pencitraan, Propaganda, dan Budaya Politik Jawa
Dalam dunia politik, pencitraan dan propaganda merupakan taktik sederhana namun sangat efektif. Seperti yang dikemukakan oleh Joseph Goebbels, kepala propaganda Nazi:
"Kebohongan yang diulang terus-menerus akan menjadi kebenaran di mata publik."
Propaganda semacam ini sering digunakan bukan hanya untuk membangun reputasi, tetapi juga untuk menghancurkan karakter seseorang. Ketika sebuah narasi, betapapun absurd atau tidak masuk akalnya, terus diulang, maka lama-lama orang bisa mempercayainya. Bahkan, sebagian bisa menjadi "sinting" karena terjebak dalam keyakinan yang dibentuk oleh propaganda tersebut.
Hal ini menjadi semakin rumit jika kedua pihak saling percaya pada propagandanya masing-masing, tanpa menunggu pembuktian di ranah hukum seperti pengadilan. Ada ungkapan bahwa tiga hal yang sulit dilawan atau dikritik adalah: penguasa, orang yang sedang jatuh cinta, dan orang gila. Ketiganya berada di luar jangkauan logika biasa, dan kritik terhadap mereka sering kali dianggap sia-sia.
Dalam konteks budaya politik Indonesia, khususnya budaya politik Jawa, sikap ini semakin terasa melalui falsafah seperti:
(Mengangkat yang baik setinggi-tingginya dan menyembunyikan yang buruk sedalam-dalamnya)
Nilai ini menekankan penghormatan kepada pemimpin, termasuk mantan-mantan presiden, bahkan ketika mereka diduga melakukan pelanggaran. Hal inilah yang menyebabkan proses hukum dan politik di Indonesia kerap berjalan di tempat, karena cenderung “melindungi” pemimpin, bukannya menegakkan keadilan.
Berbeda halnya dengan Korea Selatan, negara yang merdeka pada tahun yang sama dengan Indonesia (1945), namun telah memenjarakan beberapa presidennya karena terbukti bersalah. Meski mereka pernah dihukum, sebagian akhirnya dimaafkan, dan kini negara tersebut justru maju pesat dalam bidang ekonomi, melampaui Indonesia.
(Di zaman edan, yang waras mengalah)
Namun jika yang “waras” terus-menerus diam dan mengalah, maka yang “edan” akan terus berkuasa. Dalam konteks inilah, suara dari mereka yang sadar dan peduli menjadi sangat penting untuk menjaga akal sehat publik dan demokrasi yang sehat.
Comments
Post a Comment